Minggu, 11 Mei 2014

Pemeriksaan Fungsi Hati atau Liver Fungsi Test



Pemeriksaan terhadap fungsi hati secara umum meliputi, SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Alanine aminotransferase (ALT), SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) atau Aspartarte aminotransferase (AST), Alkaline phosphatase (ALP), Gamma glutamyl transferase (GGT), Bilirubin, Albumin, Massa Prothrombin (PT), dan International Normalised Ratio (INR). Masing – masing pemeriksaan ini menjadi petunjuk atau indikator untuk mengetahui apakah ada masalah pada fungsi hati atau tidak. Masing – masing pemeriksaan tersebut juga memiliki fungsi sendiri – sendiri, diantaranya :

1.    Aspartarte aminotransferase (AST) dan Alanine aminotransferase (ALT)  
Pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Aspartarte aminotransferase (AST) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) atau Alanine aminotransferase (ALT) bertujuan untuk mengetahui inflamasi yang terjadi dalam tubuh. Angka   yang tinggi biasanya menjadi indikasi adanya gangguan hati.
SGOT juga dikenal sebagai Aspartat transaminase (AST) atau aspartat aminotransferase, serta juga dikenal sebagai Aspat / ASAT / AAT. SGOT mengkatalisis transfer reversibel dari kelompok α-amino antara aspartat dan glutamat, sehingga SGOT menjadi enzim penting dalam metabolisme asam amino. SGOT ditemukan dalam hati, jantung, otot rangka, ginjal, otak, dan sel-sel darah merah, serta umumnya diukur secara klinis sebagai penanda untuk kesehatan hati. SGOT berperan sebagai kofaktor untuk mentransfer gugus amino dari aspartat atau glutamat untuk yang sesuai asam keton. Enzim ini berperan sangat penting pada proses degradasi dan biosintesis asam amino. Dalam degradasi asam amino, setelah konversi α-ketoglutarat untuk glutamat, glutamat kemudian mengalami deaminasi oksidatif untuk membentuk amonium ion yang diekskresikan sebagai urea. Dalam reaksi balik, aspartat dapat disintesis dari oksaloasetat yang merupakan perantara kunci dalam siklus asam sitrat (Berg, et al., 2006).
Pada manusia terdapat dua isoenzim SGOT, yaitu GOT 1/Cast merupakan isoenzim sitosol yang terutama berasal dari sel-sel darah merah dan jantung dan GOT 2/Mast, isoenzim mitokondria yang hadir terutama di hati. SGOT mirip dengan SGPT dalam kedua enzim yang berhubungan dengan hati parenkim sel. Perbedaannya adalah bahwa SGPT ditemukan terutama di hati, dengan jumlah klinis diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan otot rangka, sedangkan SGOT ditemukan dalam hati, jantung (otot jantung), otot rangka, ginjal, otak, dan merah sel-sel darah. Oleh karena itu, SGPT adalah indikator yang lebih spesifik pada peradangan hati daripada SGOT. SGOT mungkin meningkat juga dalam penyakit yang mempengaruhi organ-organ lain, seperti infark miokard, pankreatitis akut, anemia hemolitik akut, luka bakar parah, penyakit ginjal akut, penyakit muskuloskeletal, dan trauma. SGOT didefinisikan sebagai penanda biokimia untuk diagnosis infark miokard akut pada tahun 1954. Namun, penggunaan SGOT untuk diagnosis seperti sekarang berlebihan dan telah digantikan oleh troponin jantung (Gaze, 2007).
Tingkat SGOT juga dapat meningkat setelah terjadi luka bakar, prosedur jantung, dan operasi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa nilai SGOT dapat meningkat selama kehamilan dan setelah latihan (Dugdale, 2013). Obat-obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT adalah antibiotik, narkotik, vitamin (asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa [Aldoment], guanetidin), teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam (Dalmane), indometasin (Indocin), isoniazid (INH), rifampisin, kontrasepsi oral, salisilat, injeksi intramuskular (IM). 
Di antara enzim SGOT dan SGPT, enzim SGPT dianggap lebih spesifik untuk kerusakan hati karena hadir terutama dalam sitosol hati dan dalam konsentrasi rendah di tempat lain. Meskipun tingkat SGOT dan SGPT bisa sangat tinggi (melebihi 2.000 U/l dalam kasus cedera dan nekrosis hepatosit yang berhubungan dengan obat-obatan, racun, iskemia, dan hepatitis), ketinggian kurang dari lima kali batas atas normal (sekitar 250 U/l ke bawah) jauh lebih umum terjadi. Pasien dengan nilai SGOT dan SGPT yang normal dapat mempunyai arti bahwa terdapat penyakit hati yang signifikan dalam pengaturan cedera hepatosit kronis (misalnya, sirosis, hepatitis C). Konsentrasi SGOT yang rendah terdapat dalam darah, kecuali jika terjadi cedera selular, kemudian dalam jumlah yang banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada penyakit hati, kadar SGOT dalam serum akan meningkat sepuluh kali atau lebih dan tetap demikian dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan penyakit hati alkoholik mempunyai tingkat-tingkat enzim yang tidak setinggi tingkat-tingkat yang dicapai dengan virus hepatitis akut dan SGOT cenderung berada di atas SGPT. Pada penyakit hati alkoholik, SGOT biasanya berada dibawah 300 U/l, dimana SGPT biasanya di bawah 100 U/l (Kee, 2007).
Bila otot jantung menderita kerusakan oleh iskemia, SGOT dalam serum akan meningkat setelah 6-8 jam, puncak kadar dicapai antara 24-48 jam, sedangkan pemulihan kepada kadar normal terjadi antara 72-96 jam. Peningkatan SGOT tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya indikator enzimatik untuk adanya infark miokard karena SGOT meningkat juga pada kondisi-kondisi lain yang perlu ikut dipertimbangkan dalam diagnosis banding serangan jantung.
Tabel 1. Kondisi-kondisi yang meningkatkan nilai SGOT
  Peningkatan tegas (5 atau lebih kali nilai normal)
  Kerusakan hepatoseluler akut
  Infark miokard
  Kolaps sirkulasi
  Pankreatitis akut
  Mononukleus infeksiosa
  Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal)
  Obstruksi saluran empedu
  Aritmia jantung
  Gagal jantung kongestif
  Tumor hati (metastasis atau primer)
  Distrophia muscularis
  Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal)
  Perikarditis
  Sirosis
  Infark paru
  Delirium tremeus
  Cerebrovascular accident
(Widmann, 2004)
Enzim SGPT digunakan untuk membedakan antara penyebab kerusakan hati atau ikterik hemolitik. Pada ikterik, kadar SGPT yang berasal dari hati nilainya lebih dari 300 U/l, sedangkan yang bukan berasal dari hati kadar SGPT kurang dari 300 U/l. Kadar SGPT serum biasanya meningkat sebelum tampak ikterik (Kee, 2007).
Kadar SGPT seringkali dibandingkan dengan SGOT untuk tujuan diagnostik. Kadar SGPT serum meningkat lebih khas daripada SGOT pada kasus nekrosis hati dan hepatitis akut. Kadar SGPT ditemukan dalam kisaran normal atau sedikit meningkat pada kasus nekrosis miokardium. Pada kasus hati, kadar enzim SGPT lebih lambat daripada enzim SGOT untuk kembali ke batas normal (Kee, 2007).
2.    Alkaline phosphatase (ALP)
Pemeriksaan alkaline phosphatase (ALP) bertujuan untuk mengetahui apakah ada sumbatan pada saluran empedu.
3.    Gamma glutamyl transferase (GGT)
Pemeriksaan gamma glutamyl transferase (GGT) bertujuan sebagai indikator untuk para pengguna alkhohol. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan ALP untuk meyakinkan bahwa kenaikan angka ALP disebabkan karena adanya masalah pada hati bukan karena faktor lain.
4. Bilirubin                         
Pemeriksaan bilirubin bertujuan untuk mengetahui kadar penyakit kuning karena gangguan hati. Angka yang tinggi menggambarkan bahwa pasien mengalami gangguan hati yang biasa ditandai dengan mata dan kulit berwarna kuning.
5. Albumin
            Pemeriksaan albumin bertujuan untuk mengetahui penurunan kadar albumin yang biasa terjadi pada penyakit hati kronik. Namun, penurunan albumin bisa juga disebabkan karena kekurangan protein.
6. Massa Prothrombin (PT) dan International Normalised Ratio (INR) Pemeriksaan massa prothrombin (PT) dan international normalised ratio (INR) bertujuan sebagai indikasi apakah penyakit hati semakin buruk atau tidak. Peningkatan angka ini menunjukkan penyakit kronik menjadi semakin buruk.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Faktor pra-analitik untuk pemeriksaan enzim SGOT di laboratorium yang perlu diperhatikan antara lain pengambilan spesimen darah dan persiapan reagen serta alat yang digunakan. Pengambilan spesimen harus memperhatikan kemungkinan terjadinya hemolisis. Darah diambil dan ditampung pada tabung tanpa antikoagulan (plain) kemudian dilakukan pemusingan untuk mendapatkan serum. Hemolisis perlu dihindari karena dapat mempengaruhi temuan laboratorium. SGOT terdapat pada sel-sel darah merah, sehingga apabila terjadi hemolisis akan terjadi peningkatan kadar SGOT yang keluar dari sel darah merah (Kee, 2007).
Reagen yang digunakan untuk pemeriksaan metode enzimatik perlu dijaga kestabilannya. Reaksi enzimatik dipengaruhi konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, suhu, pH, dan inhibitor. Faktor analitik perlu diperhatikan pada saat pemeriksaan seperti suhu dan reaksi yang terjadi pada alat yang digunakan. Kestabilan faktor tersebut dapat dijaga dengan persiapan reagen serta alat yang benar. Persiapan reagen yang dilakukan yaitu pencampuran reagen 1 (buffer) dan reagen 2 (substrat) dengan perbandingan 4:1. Reagen dapat stabil pada suhu ruang, tetapi reaksi berlangsung pada suhu 37oC yang sudah otomatis disesuaikan pada alat yang digunakan.
Kadar SGOT ditentukan dengan menggunakan metode kinetik enzimatik. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah 2-oxaloglutarat dan L-alanin dengan enzim GPT menghasilkan L-glutamat dan piruvat, kemudian piruvat ditambah NADH dan hidrogen dengan enzim LDH akan menghasilkan L-laktat dan NAD. Nilai normal untuk enzim SGOT adalah 0-25 U/l pada pria dan 0-21 U/l pada wanita, sedangkan nilai normal untuk SGPT adalah 0-29 U/l pada pria dan 0-22 U/l pada wanita (Rajawali Nusindo, 2008). Faktor post-analitik yang perlu diperhatikan adalah pencatatan dan pelaporan hasil. Pelaporan hasil juga harus diperhatikan terhadap nilai normal.
Aktivitas enzim SGPT dan SGOT digunakan dalam praktik klinik sebagai indeks yang sensitif untuk kerusakan hepatosit akut tanpa memandang etiologinya. Pemeriksaan ini non-spesifik untuk kerusakan hepatosit. Pada umumnya nilai SGPT yang agak lebih tinggi karena berada pada sitoplasma daripada SGOT yang berada pada sitoplasma dan mitokondria, ditemukan pada penyakit hepar akut. Kerusakan hipersensitifitas sel hati yang berhubungan dengan obat-obatan mungkin akan memperlihatkan peningkatan nilai transaminase yang kontinu pada pemeriksaan yang berulang (Baron, 1990).
Perbedaan kedua enzim tersebut adalah bahwa SGPT ditemukan terutama di hati, dengan jumlah klinis diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan otot rangka, sedangkan SGOT ditemukan dalam hati, jantung (otot jantung), otot rangka, ginjal, otak, dan merah sel-sel darah. Oleh karena itu, SGPT adalah indikator yang lebih spesifik pada peradangan hati daripada SGOT. SGOT mungkin meningkat juga dalam penyakit yang mempengaruhi organ-organ lain, seperti infark miokard, pankreatitis akut, anemia hemolitik akut, luka bakar parah, penyakit ginjal akut, penyakit muskuloskeletal, dan trauma.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar SGOT antara lain (Kee, 2007):
1.    Injeksi pada infark miokardium (IM) dapat meningkatkan kadar SGOT serum.
2.    Hemolisis spesimen darah dapat mempengaruhi temuan laboratorium.
3.    Obat yang meningkatkan kadar SGOT adalah antibiotik (ampisilin, karbenisilin, klindamisin, kloksasilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, nafsilin, oksasilin, polisilin, tetrasiklin), antihipertensi (metildopa/aldomet, guanetidin), indometasin (Indosin), isoniazid (INH), rifampin, teofilin. Salisilat dapat menyebabkan kadar serum positif atau negatif yang keliru.
Menurut Suartini (2013), pada penyakit jantung koroner (PJK) dapat diketahui dari nilai enzim jantung yang dua kali dari nilai normal. Pemeriksaan enzim jantung yang dapat dilakukan antara lain Creatine Kinase (CK), SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark miokard, sedangkan pada angina kadarnya masih normal.
Faktor pra analitik, analitik maupun post analitik perlu diperhatikan dalam pemeriksaan aktivitas enzim ini. Faktor ini perlu diperhatikan karena aktivitas enzim banyak dipengaruhi oleh suhu, substrat, waktu, dan konsentrasi dari zat yang diubah. Dalam kasus ini, faktor-faktor di atas diduga telah dikendalikan dengan baik. Hemolisis dapat dihindari mulai dari pengambilan sampel hingga pemisahan serum dari sel-sel darah setelah dicentrifuge. Reagen yang digunakan telah dikalibrasi dengan alat TMS Analyzer yang berada di Rumah Sakit Orthopedi. Quality  Control dilakukan setiap hari sebelum pemeriksaan dilakukan.
Nilai enzim yang meningkat dari nilai normal pada kasus ini dapat disebabkan dari berbagai macam keadaan yang berasal dari pasien. Nilai SGOT yang meningkat dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti yang tercantum pada Tabel 1.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Insert Kit GOT (ASAT). Jakarta: PT. Rajawali Nusindo. Cat no. 100191/3.
Baron D.N., 1990. Kapita Selekta Patologi Klinik Ed. 4. Jakarta: EGC. hlm 222.
Berg J.M., Tymoczko J.L., Stryer L., 2006. Biochemistry. WH Freeman. hlm 656-660. ISBN 978-0-7167-8724-2.
Dugdale D.C., 2013. AST. University of Washington School of Medicine. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003472.htm diakses 6 Mei 2014 pukul 21:30 WIB.
Dispenarmabar., 2013. Periksa Fungsi Hati Anda. Pesan Sehat RS TNI AL Dr. Minto Hardjo.
http://koarmabar.tnial.mil.id/Default.aspx?tabid=66&articleId=793&articleType=ArticleView&SkinSrc=[G]Skins%2F_default%2FNo+Skin&ContainerSrc=[G]Containers%2F_default%2FNo+Container diakses 9 Mei 2014 pukul 19:39 WIB.
Gaze D.C., 2007. Peran biomarker jantung yang ada dan baru untuk cardioprotection. Opini Lancar Investigational Obat 8 (9): 711 PMID 17729182.
          http://en.wikipedia.org/wiki/Aspartate_transaminase diakses 6 Mei 2014  pukul 21:37 WIB.
Kee J.L., 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Ed. 6. Jakarta: EGC. hlm 15, 16.
Sacher R.A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed. 11 . Jakarta: EGC. hlm 341.
Suartini N.K., 2013. Mengenali Gejala Penyakit Jantung Koroner. Bali. http://posbali.com/mengenal-gajala-penyakit-jantung-koroner/ diakses 9 Mei 2014 pukul 19:35 WIB.
Widmann F.K., 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed. 11 (Clinical Interpretation of Laboratory Tests). Jakarta: EGC. ISBN 979-448-075-4. hlm 303-305.



Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu Dengan Strip Pada Diabetes Mellitus



Diabetes Mellitus
          Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis yaitu dimana konsentrasi (glukosa) darah berada di atas normal dalam jangka waktu lama (kronis). Pengertian lain adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo, 2009).
2. Prevalensi
Berdasarkan data Litbang DepKes bulan Desember 2008 menunjukkan prevalensi nasional untuk Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) sebesar 10,25% dan Diabetes Mellitus sebesar 5,7%. Pertumbuhan pola penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus (DM) 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien Diabetes Mellitus (Soegondo, 2009). Prevalensi di seluruh dunia sebanyak 4%. Prevalensi akan terus meningkat dan diperkirakan akan mencapai 5,4% pada tahun 2025. Di Indonesia meskipun belum ada data yang resmi, tetapi diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat.
3. Jenis – jenis Diabetes Mellitus ada 2 macam, yaitu :
a.    Diabetes Mellitus Tipe 1
b.     Diabetes Mellitus Tipe 2
4. Patofisiologi
a.    Diabetes Mellitus Tipe 1
Pada Diabetes Mellitus Tipe 1 ini didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resistensi insulin), insulin dihasilkan oleh sel beta yang dapat membantu masuknya glukosa dalam sel untuk dimetabolisme menjadi energi. Apabila insulin tidak ada, maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat.
b.    Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada Diabetes Mellitus Tipe 2 ini didapatkan jumlah insulin bisa normal, namun jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel kurang, sehingga glukosa dalam darah tetap berada di luar sel yang mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat (Subekti, 2009).
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah, yaitu :
a. Stress emosional, demam, infeksi, trauma, dan obesitas dapat memicu meningkatkan kadar glukosa darah.
b. Makan yang berlebihan dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
c. Usia, orang dewasa mempunyai kadar glukosa darah yang cenderung lebih tinggi diakibatkan proses penuaan menyebabkan sekresi insulin menurun.
d. Aktivitas berlebihan dapat menurunkan kadar glukosa darah (Kee, 2008).
6. Gejala Klinis Diabetes Mellitus, yaitu :
a. Poliuria
            Berlebihnya volume urine disertai gejala sering buang air kecil.
b. Polidipsia
Peningkatan rasa haus yang diakibatkan seringnya buang air kecil yang menyebabkan dehidrasi.
c. Polifagia
Peningkatan rasa lapar yang diakibatkan keadaan paska absorbsi yang kronik, katabolisme protein dan lemak, serta kelaparan relatif sel-sel.
d. Kelemahan otot
Keadaan ini diakibatkan oleh katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi (Corwin, 2009).
6. Glukosa
                    Glukosa merupakan kelompok senyawa karbohidrat sederhana atau menosakarida. Di alam, glukosa terdapat dalam buah – buahan dan madu lebah. Glukosa berfungsi sebagai sumber energi untuk sel–sel otak, sel–sel saraf, dan sel darah merah. Darah manusia normal mengandung glukosa dalam jumlah atau konsentrasi yang tetap yaitu antara 70 – 100 mg tiap 100 ml darah.

7. Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
a. Pengertian
       Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan kimia yang bertujuan untuk screening Diabetes Mellitus sebagai upaya deteksi dini terhadap penyakit ini (Dewi, 2008). Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan strip dengan prinsip enzim glukosa oksidase dan menggunakan teknologi biosensor yang spesifik untuk pengukuran glukosa. Pada pemeriksaan ini perlu diperhatikan tahap pra analitik, analitik, dan post analitiknya (Sugiyarti, 2010).
Pemeriksaan ini untuk mengukur kadar glukosa darah yang diambil kapan saja, tanpa memperhatikan waktu makan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa dalam darah sewaktu (Maulana, 2009).
b. Sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan yaitu darah dengan atau tanpa antikoagulan (EDTA, Heparin, dan NaF).
c. Cara Kerja
1. Hidupkan alat dengan cara menekan tombol power, kemudian simbol strip dan nomor kode akan berkedip – kedip (pastikan nomor kode sama dengan nomor yang tertera pada tabung strip).
2. Masukkan strip  pada lubang alat dengan posisi sesuai dengan gambar anak panah yang tertera pada strip sampai keluar bunyi “bip” dan gambar tetes darah yang berkedip – kedip.
3. Desinfeksi salah satu ujung jari yang akan ditusuk (jari 2, 3, 4) dengan kapas alkohol 70%, tunggu kering kemudian tusuk.
4. Usap darah yang pertama kali keluar dengan kapas kering, kemudian letakkan tetesan darah selanjutnyan pada strip pastikan tempat sampel terisi penuh, tutup bekas tusukan dengan kapas kering.
5. Dengan otomatis darah akan terhisap dan secara otomatis juga alat tersebut akan membaca kadar glukosa darah dengan biosensornya.
d. Harga Normal
Kadar normal glukosa darah sewaktu yaitu berkisar antara 70 – 100 mg/dl.
Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis yaitu kondisi dimana konsentrasi glukosa darah berada di atas normal dalam jangka waktu lama (kronis). Penyandang DM harus menjaga konsentrasi glukosa darahnya dengan baik untuk mencegah timbulnya komplikasi di kemudian hari. Selain dengan pengaturan pola makan, olahraga dan pengobatan, hal lain yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan rutin glukosa darah. Ada tiga macam pemeriksaan glukosa darah, diantaranya glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam setelah makan (post prandial).    
Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu humoral faktor seperti insulin, glukagon, kortisol, sistem reseptor di otot dan sel hati. Faktor eksogen antara lain jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas fisik yang dilakukan.
Pemeriksaan glukosa darah yang baik dan sering dilakukan yaitu pemeriksaan glukosa darah sewaktu, karena pemeriksaan ini sendiri bertujuan untuk upaya deteksi dini penyakit DM. Adanya upaya deteksi dini DM dengan melakukan screening diharapkan dapat menurunkan resiko komplikasi dan meningkatkan upaya pengendalian sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia hidup pederita. Pemeriksaan ini cukup efektif dan tergolong mudah dikarenakan kita dapat mengambil sampelnya sewaktu-waktu.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan dua alat, yaitu alat TMS Analyzer dengan sampel serum dan alat kecil (Gluco-DR) atau sering disebut cara strip dengan sampel wholeblood. Pemeriksaan glukosa darah dengan Gluco-DR tergolong mudah, cepat, dan akurat. Selain tergolong mudah, cepat, akurat, pemeriksaan ini juga memiliki kekurangan salah satunya akan menghasilkan hasil rendah palsu jika sampel darah yang digunakan tidak penuh. Hal itu dikarenakan alat tersebut membaca kadar glukosa darah sesuai sampel yang diberikan menggunakan biosensornya. Jadi, disini jelas bahwa pemberian sampel wholeblood  dalam alat Gluco-DR harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.


DAFTAR PUSTAKA

Corwin E.J., 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Edisi 3. Halaman : 630.
Kee J.L., 2003. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Edisi 11. Halaman : 519.
Maulana M., 2008. Mengenal Diabetes Panduan Praktis Mengenai Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta: Penerbit Katahari.
http://www.share-pdf.com/6c841d2a15db4f94851649a1783200dc/Windy-Hermawan.htm. halaman : 3-4.
Rasmika D., 2008. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Pada Masyarakat Dusun Samu Mambal Kabupaten Badung. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Udayana: Bali. Halaman : 3.
Soegondo S., 2009. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Halaman : 53.
Subekti I., 2009. Patofisiologi, Gejala, dan Tanda Diabetes Mellitus. Dalam Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JHS/article/download/916/856. Halaman : 686-690.
Sugiyarti., 2010. Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Sesudah Hemodialisa pada Penderita Gagal Ginjal di RSUD Kota Semarang. Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang. Halaman : 8.